Aidil Adha 1430H. Hari Raya Qurban pertamaku di Samarinda, Kalimantan Timur. Dirayakan sendiri, jauh dari keluarga. Bukan perayaan namanya kalau begitu. Makanya terasa biasa saja.
Setelah shalat Eid di masjid At Taqwa depan perumahan elit Villa Tamara, praktis tidak ada kegiatan yang dapat kulakukan. Menyaksikan pemotongan hewan qurban di 2 masjid terdekat tidak bisa karena pemotongan hewan baru akan dilaksanakan hari Sabtu. Hendak jalan ke pusat keramaian tidak ada kendaraan di rumah, sementara angkutan kota tidak nampak beroperasi (pada hari biasa saja sangat jarang lewat, interval menunggu bisa lebih dari 15 menit). Silaturahmi ke rumah tetangga sekitar juga tidak karena tidak begitu kenal atau akrab dengan mereka (kapan bersosialisasinya? berangkat kerja pagi-pagi, pulangnya udah malam, ngga’ sempat ketemu tetangga).
Karena itu sampai siang aku hanya tidur-tiduran nonton TV hingga akhirnya ketiduran beneran. Terbangun persis setengah 12, saat yang tepat untuk berangkat shalat Jum’at. Makan siang? Nah, ini yang susah! Sepanjang jalan AW Syahranie tak ada satu pun warung yang buka. Berbelok ke arah Vorvoo, sama saja, tidak ada penjual makanan yang kujumpai. Daripada makan di KFC atau food court di Lembuswana Mall yang tidak sesuai dengan seleraku, aku memilih untuk menahan lapar dahulu dan masuk ke Gramedia.
Keluar dari sana, 2 buku ini kubawa pulang:
1. 5 cm karya Donny Dhirgantoro, terbitan Grasindo 2007
2. The Lost Boy karya Dave Pelzer, terbitan Gramedia 2001 (sudah pernah dibaca sebelumnya, dibeli sebagai pelengkap koleksi)
Pencarian makan siang berlanjut. Aku naik angkutan kota menelusuri jalan Juanda, berharap bisa makan nasi Padang atau apa saja yang akan kutemukan di jalan yang biasanya selalu penuh dengan gerobak makanan, warung, resto, atau cafe-cafe. Tapi nihil, sepanjang Juanda, semuanya tutup! Belok ke jalan Antasari mataku celingukan ke kiri dan kanan jalan mencari penjual makanan. Nasib baik, dekat pertigaan ke jalan baru, ada sebuah warung ayam goreng yang buka. Alhamdulillah, makan siangku akhirnya terlaksana jam 14.30 WITA!
Pulang ke rumah langsung ngebut baca 5 cm. Menarik sekali novel ini! Mungkin nanti kalau sempat akan aku buatkan resensinya. Membacanya sampai malam, diselingi makan nasi goreng ikan asin plus lauk ayam bakar yang diantarkan seorang teman yang berbaik hati. Barangkali karena dia tahu, Samarinda sepi dan sulit menemukan penjual makanan pada saat hari besar keagamaan seperti ini.